Minggu, 05 Agustus 2012

AYAH TIDAK CINTA?


                Ayahku adalah seorang ayah yang sangat baik kepada siapapun. Dia selalu membuat kami senang. Dia juga tak pernah melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat kami kecewa. Itu adalah ayah kami. Dia sangat menyayangi kami. Aku dan adikku selalu berkcukupan dengan segalanya karena ayahku seorang pengusaha sukses. Usahanya sudah sangat menjamur di kota Jakarta ini. Dan kehidupanku sangatlah membahagiakan karena aku hidup dalam keluarga yang saling menyayangi dan menghargai.
                Suatu ketika aku dan adikku pulang pagi karena itu ayah mengajak kami sejenak melihat-lihat  lahan yang akan dibangun sebuah proyek untuk perusahaannya. Ditempat itu aku melihat seorang ibu menggendong anaknya yang sepertinya sedang sakit. Tak lama kemudian adikku Cisa yang masih berumur enam tahun itu berlari mendatangi perempuan  itu dan bertanya, “apakah ibu butuh bantuan?” tetapi jawab ibu itu “kamu anak yang sangat baik nak, tapi sebaiknya kamu menjauhi tempat ini karena anak saya punya penyakit yang menular, aku tidak mau ayahmu akan menyalahkan kami yang tak punya apa-apa ini.” Karena sedih melihat ibu itu, Cisa berkata “aku ingin membantu ibu, ayah mengajarkanku untuk saling membantu.” Lagi –lagi perempuan itu menjawab “aku akan meninggalkan tempat ini karena ayahmu akan memakai tempat ini untuk proyeknya”. Tak lama kemudian anak seorang ibu itu menangis kesakitan dan Cisa pun lari kembali ketempat aku dan ayah berdiri. Cisa langsung bertanya kepada ayah “ayah, kalau kita miskin dan aku hampir mati karena ayah tak mampu membelikan aku obat, apakah ayah akan sedih?” ayah langsung menjawab “kenapa kamu berkata seperti itu sa?” karena ibu itu (sambil menunjuk perempuan miskin tadi) lebih menderita dari kita tapi dia tetap berjuang untuk anaknya.” Dan seketika itu ayah meneteskan air mata dan berpikir untuk tidak membangun proyeknya di lahan itu. Ayah sangat baik kepada kami maupun kepada orang lain.
                Tetapi pada suatu ketika aku melihat ayah bertengar dengan bunda , aku tidak tahu apa yang terjadi. Sebelumnya aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Semenjak itu ayah sering sekali mengecewakan bunda, aku dan Cisa. Ayah sering melakukan hal-hal yang tidak mengenakan bunda, hingga suatu hari ayah mengatakan bahwa harus bercerai dengan bunda. Aku sangat sedih, begitu pula dengan Cisa. Aku dan Cisa sering berdoa bersama supaya mereka tidak berpisah dan kehidupan kami kembali seperti dulu. Cisa sering memeluk ayah tiba-tiba tetapi aku sering melihat ayah mengacuhkan Cisa dan pergi sambil meneteskan air mata. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan atau yang sedang dialami ayah, sehingga ia berubah secara cepat dan tanpa alasan.            Tiba hingga saatnya memang kedua orang tuaku benar-benar bercerai. Palu yang menandakan akhir keputusan bahwa kedua orang tuaku bercerai seperti tanda yang membunuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa demi bunda dan adikku ini.
                Setelah tujuh tahun lamanya, aku masih sering melihat bunda menangis tiba-tiba, ia sangat bersedih atas apa yang terjadi dengan kami. Ayah pun semenjak pengadilan memutuskan perpisahan ayah dan bunda, ia tak pernah muncul lagi dihadapanku dan sedikitpun menemui aku, Cisa maupun bunda juga tidak. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah. Sehingga rasa benciku kepada ayah sangat membara.
                Suatu ketika aku, bunda dan Cisa pergi ke vila yang sudah tujuh tahun yang lalu sering kami kunjungi yaitu sebelum ayah dan Bunda berpisah. Aku mendapati barang-barang ayah masih tersimpan rapi disana. Kami bertemu dengan pak Tarjo yaitu penjaga vila kami, sudah lama kami tak berbincang dengannya.
                Saat aku hendak mencari barang digudang, ternyata gudang itu gelap tidak ada lampunya dan aku mencari sebuah lampu senter untuk menerangi. Tapi setelah lama aku cari aku tidak menemukannya. Aku berpikir untuk meminjam lampu senter milik pak Tarjo. Aku mendatangi rumahnya, tapi pak Tarjo sedang tidak ada dirumah. Tetapi aku melihat ada sebuah lampu senter di atas sebuah rak buku kecil dirumahnya. Aku  bergegas mengambil senter itu dulu nanti baru bilang. Saat aku mengambilnya, ada sebuah kotak kecil disitu dan seolah sangat menarik perhatianku untuk aku membukanya. Tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin tahu saja apa isinya. Saat aku membukanya, ternyata berisi surat dan foto-foto seorang laki-laki yang sedang sakit. Aku membaca suratnya sambil meneteskan air mata. Ternyata surat itu adalah surat yang ditulis ayah untuk kami. Surat itu berisi tentang kejadian yang ia alami. Bahwa dia terkena kanker otak dan dengan segenap hati dia meminta maaf karena sebelumnya dia membuat kami benci kapadanya karena memang ayah tak mau membuat kita bersedih karena sebentar lagi ia akan mati. Sangat teriris sekali hatiku saat aku membaca surat itu. Kebencianku kepada ayah seketika itu bergnanti menjadi sebuah kemarahan. Aku marah ayah tak memberitahu kami bahwa ia sudah terkena kanker otak. Aku, Cisa dan bunda adalah orang terdekatnya, tapi kenapa dia tidak memberitahu kami. Kalau ayah cinta kami, dia akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
                Aku langsung berlari sambil bercucuran air mata membawa kotak itu dan menunjukannya pada Cisa dan bunda. Dan seketika itu juga mereka menangis. Dan tak lama kemudian karena kami menangis, pak Tarjo menghampiri kami dan melihat kotak itu sudah ada ditangan kami dan ia menyadari apa yang sudah terjadi dengan kami. Dengan suara keras, bunda bertanya kepada pak Tarjo “Kenapa pak Tarjo tidak memebritahukan kepada kami?” pak Tarjo pun dengan berat hati menjawab “saya sudah berjanji pada tuan, dan akan memberikan kotak ini ketika non Sica atau non Casi sudah menikah. Supaya non Sica dan non Casi tahu bahwa tuan tidak ingin melihat kalian bersedih.” Bunda bertanya “lalu bagaimana sekarang keadaan suamiku?” Pak Tarjo meteskan air mata dan berkata “ Beliau sudah meninggal.” Kami pun semakin larut dalam kesediahan. Kami marah dan menyesal tidak tahu apa yang terjadi dengan ayah.

                Aku berkata pada bunda “Ayah tidak cinta dengan kita, seharusnya dia mengatakan yang sebenarnya bahwa ia sakit. Ayah tidak menginginkan kita sedih tapi ia menginginkan kita sakit hati. Seharusnya ia mengijinkan kita tahu dan merawatnya sampai Tuhan menjemputnya.” Saat itu Casi memeluk aku dan Bunda. Dia bahkan lebih dewasa dari kita, ia berkata “sampai saat ini, ayah masih sayang dengan kita tapi ayah terlalu menyakiti dirinya sendiri karena ia ingin kita melupakannya, sehingga saat kita tahu ayah sudah tiada, kita tidak begitu bersedih.” Bunda menjawabnya “Ya, Casi benar, kita harus kuat dan melanjutkan hidup kita karena ayah menyayangi kita.”
                Setelah itu kami menjalani kehidupan kami. Aku dan Casi mengelola perusahaan ayah, supaya ayah bangga dengan kita. Dan kita tetap bersatu menjadi keluarga.

-cerpen tugas yang gaje buatanku-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar