Ayahku adalah
seorang ayah yang sangat baik kepada siapapun. Dia selalu membuat kami senang.
Dia juga tak pernah melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat kami kecewa.
Itu adalah ayah kami. Dia sangat menyayangi kami. Aku dan adikku selalu
berkcukupan dengan segalanya karena ayahku seorang pengusaha sukses. Usahanya
sudah sangat menjamur di kota Jakarta ini. Dan kehidupanku sangatlah
membahagiakan karena aku hidup dalam keluarga yang saling menyayangi dan
menghargai.
Suatu ketika
aku dan adikku pulang pagi karena itu ayah mengajak kami sejenak
melihat-lihat lahan yang akan dibangun
sebuah proyek untuk perusahaannya. Ditempat itu aku melihat seorang ibu
menggendong anaknya yang sepertinya sedang sakit. Tak lama kemudian adikku Cisa
yang masih berumur enam tahun itu berlari mendatangi perempuan itu dan bertanya, “apakah ibu butuh bantuan?”
tetapi jawab ibu itu “kamu anak yang sangat baik nak, tapi sebaiknya kamu
menjauhi tempat ini karena anak saya punya penyakit yang menular, aku tidak mau
ayahmu akan menyalahkan kami yang tak punya apa-apa ini.” Karena sedih melihat
ibu itu, Cisa berkata “aku ingin membantu ibu, ayah mengajarkanku untuk saling
membantu.” Lagi –lagi perempuan itu menjawab “aku akan meninggalkan tempat ini
karena ayahmu akan memakai tempat ini untuk proyeknya”. Tak lama kemudian anak
seorang ibu itu menangis kesakitan dan Cisa pun lari kembali ketempat aku dan
ayah berdiri. Cisa langsung bertanya kepada ayah “ayah, kalau kita miskin dan
aku hampir mati karena ayah tak mampu membelikan aku obat, apakah ayah akan
sedih?” ayah langsung menjawab “kenapa kamu berkata seperti itu sa?” karena ibu
itu (sambil menunjuk perempuan miskin tadi) lebih menderita dari kita tapi dia
tetap berjuang untuk anaknya.” Dan seketika itu ayah meneteskan air mata dan
berpikir untuk tidak membangun proyeknya di lahan itu. Ayah sangat baik kepada
kami maupun kepada orang lain.
Tetapi pada
suatu ketika aku melihat ayah bertengar dengan bunda , aku tidak tahu apa yang
terjadi. Sebelumnya aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Semenjak itu
ayah sering sekali mengecewakan bunda, aku dan Cisa. Ayah sering melakukan
hal-hal yang tidak mengenakan bunda, hingga suatu hari ayah mengatakan bahwa
harus bercerai dengan bunda. Aku sangat sedih, begitu pula dengan Cisa. Aku dan
Cisa sering berdoa bersama supaya mereka tidak berpisah dan kehidupan kami
kembali seperti dulu. Cisa sering memeluk ayah tiba-tiba tetapi aku sering
melihat ayah mengacuhkan Cisa dan pergi sambil meneteskan air mata. Aku tidak tahu
apa yang sedang dipikirkan atau yang sedang dialami ayah, sehingga ia berubah
secara cepat dan tanpa alasan. Tiba
hingga saatnya memang kedua orang tuaku benar-benar bercerai. Palu yang
menandakan akhir keputusan bahwa kedua orang tuaku bercerai seperti tanda yang
membunuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa demi bunda dan adikku ini.
Setelah tujuh
tahun lamanya, aku masih sering melihat bunda menangis tiba-tiba, ia sangat
bersedih atas apa yang terjadi dengan kami. Ayah pun semenjak pengadilan
memutuskan perpisahan ayah dan bunda, ia tak pernah muncul lagi dihadapanku dan
sedikitpun menemui aku, Cisa maupun bunda juga tidak. Aku tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi dengan ayah. Sehingga rasa benciku kepada ayah sangat
membara.
Suatu ketika
aku, bunda dan Cisa pergi ke vila yang sudah tujuh tahun yang lalu sering kami
kunjungi yaitu sebelum ayah dan Bunda berpisah. Aku mendapati barang-barang
ayah masih tersimpan rapi disana. Kami bertemu dengan pak Tarjo yaitu penjaga
vila kami, sudah lama kami tak berbincang dengannya.
Saat aku hendak
mencari barang digudang, ternyata gudang itu gelap tidak ada lampunya dan aku
mencari sebuah lampu senter untuk menerangi. Tapi setelah lama aku cari aku
tidak menemukannya. Aku berpikir untuk meminjam lampu senter milik pak Tarjo.
Aku mendatangi rumahnya, tapi pak Tarjo sedang tidak ada dirumah. Tetapi aku
melihat ada sebuah lampu senter di atas sebuah rak buku kecil dirumahnya.
Aku bergegas mengambil senter itu dulu
nanti baru bilang. Saat aku mengambilnya, ada sebuah kotak kecil disitu dan
seolah sangat menarik perhatianku untuk aku membukanya. Tidak bermaksud
apa-apa, aku hanya ingin tahu saja apa isinya. Saat aku membukanya, ternyata
berisi surat dan foto-foto seorang laki-laki yang sedang sakit. Aku membaca
suratnya sambil meneteskan air mata. Ternyata surat itu adalah surat yang
ditulis ayah untuk kami. Surat itu berisi tentang kejadian yang ia alami. Bahwa
dia terkena kanker otak dan dengan segenap hati dia meminta maaf karena
sebelumnya dia membuat kami benci kapadanya karena memang ayah tak mau membuat
kita bersedih karena sebentar lagi ia akan mati. Sangat teriris sekali hatiku
saat aku membaca surat itu. Kebencianku kepada ayah seketika itu bergnanti
menjadi sebuah kemarahan. Aku marah ayah tak memberitahu kami bahwa ia sudah
terkena kanker otak. Aku, Cisa dan bunda adalah orang terdekatnya, tapi kenapa
dia tidak memberitahu kami. Kalau ayah cinta kami, dia akan memberitahukan apa
yang terjadi dengan dirinya.
Aku langsung
berlari sambil bercucuran air mata membawa kotak itu dan menunjukannya pada
Cisa dan bunda. Dan seketika itu juga mereka menangis. Dan tak lama kemudian
karena kami menangis, pak Tarjo menghampiri kami dan melihat kotak itu sudah
ada ditangan kami dan ia menyadari apa yang sudah terjadi dengan kami. Dengan
suara keras, bunda bertanya kepada pak Tarjo “Kenapa pak Tarjo tidak
memebritahukan kepada kami?” pak Tarjo pun dengan berat hati menjawab “saya
sudah berjanji pada tuan, dan akan memberikan kotak ini ketika non Sica atau
non Casi sudah menikah. Supaya non Sica dan non Casi tahu bahwa tuan tidak
ingin melihat kalian bersedih.” Bunda bertanya “lalu bagaimana sekarang keadaan
suamiku?” Pak Tarjo meteskan air mata dan berkata “ Beliau sudah meninggal.”
Kami pun semakin larut dalam kesediahan. Kami marah dan menyesal tidak tahu apa
yang terjadi dengan ayah.
Aku berkata
pada bunda “Ayah tidak cinta dengan kita, seharusnya dia mengatakan yang
sebenarnya bahwa ia sakit. Ayah tidak menginginkan kita sedih tapi ia
menginginkan kita sakit hati. Seharusnya ia mengijinkan kita tahu dan
merawatnya sampai Tuhan menjemputnya.” Saat itu Casi memeluk aku dan Bunda. Dia
bahkan lebih dewasa dari kita, ia berkata “sampai saat ini, ayah masih sayang
dengan kita tapi ayah terlalu menyakiti dirinya sendiri karena ia ingin kita
melupakannya, sehingga saat kita tahu ayah sudah tiada, kita tidak begitu
bersedih.” Bunda menjawabnya “Ya, Casi benar, kita harus kuat dan melanjutkan hidup
kita karena ayah menyayangi kita.”
Setelah itu
kami menjalani kehidupan kami. Aku dan Casi mengelola perusahaan ayah, supaya
ayah bangga dengan kita. Dan kita tetap bersatu menjadi keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar